(Chatulistiwa) - Gadis asal Riau bernama Primasari Rumahorbo pernah mengucap tak akan
berhubungan dengan hal yang berbau Islam. Menurut Primasari kala itu, Islam
itu sama seperti yang ada ditayangan televisi, suka ngebom dan menyakiti
orang lain.
Primasari hidup di kawasan yang mayoritas pengikut Rasulullah SAW. Meski
punya banyak teman muslim, tetapi dalam hatinya tetap tak suka dengan
Islam. Suatu kali dia main ke rumah temannya, dasar hobi baca, Primasari
kemudian membaca poster ayat kursi beserta artinya yang terpajang di rumah
temannya tersebut.
Sejak itu dia makin penasaran dan rasa ingin tahu tentang Islam mulai
tumbuh. Beberapa waktu kemudian, ada kejadian yang membuatnya terkejut.
Pada malam hari terjadi gemuruh angin yang membuatnya terbangun. Ketika
keluar rumah, dia melihat pohon tertiup angin seperti menirukan gerakan
rukuk salat. Gerakan yang sering dia lihat saat temannya menunaikan
salat.
"Pohon kan biasanya tegak lurus tapi malam itu beda itu sampai seperti
rukuknya orang Islam," ujar Primasari kepada merdeka.com, di pondok
pesantren Mualaf An Nabba center, Ciputat, Senin (12/6).
Tapi saat itu keinginan masuk Islam belum ada di benak anak pertama dari
lima bersaudara tersebut. Hingga pada satu waktu, dia membaca buku agama
Islam dan terdapat surat Al Ikhlas. Yang membuat hatinya tergerak ketika
membaca terjemahan ayat ketiga.
"Ayat ketiga itu yang buat aku percaya bahwa artinya Dia (Tuhan) tiada
beranak dan tidak pula diperanakkan," ungkapnya.
Mualaf
Dengan keyakinan itu dia bercerita kepada gurunya di sekolah yang kebetulan beragama Islam. Dia meminta guru tersebut mengenalkan kepada orang yang bisa membantu mensyahadatkannya. Tanpa sepengetahuan keluarga dia bersyahadat dan menjadi mualaf. Tapi hal ini masih disembunyikan dari keluarga khususnya orangtua.
Dengan keyakinan itu dia bercerita kepada gurunya di sekolah yang kebetulan beragama Islam. Dia meminta guru tersebut mengenalkan kepada orang yang bisa membantu mensyahadatkannya. Tanpa sepengetahuan keluarga dia bersyahadat dan menjadi mualaf. Tapi hal ini masih disembunyikan dari keluarga khususnya orangtua.
Usai bersyahadat, Primasari mengganti namanya jadi Nurhidayah. Dia sering
menumpang di rumah tetangganya untuk menunaikan salat. Lama-kelamaan kabar
mengenai dia mualaf sampai kepada keluarganya.
Nurhidayah pun belum berani bercerita karena tahu keluarganya tidak
menyukai Islam, khususnya sang ayah. Karena menurut ayahnya orang Islam
ketika melakukan bom bunuh diri selalu mengucapkan 'Allahu akbar'. Tapi
rahasia itu tidak berlangsung lama, dia tepergok oleh ayahnya saat mencoba
ingin mengenakan hijab.
Lantas ayahnya menanyakan kebenaran itu dan Nurhidayah membenarkan.
Keluarga sangat kecewa atas keputusan Nurhidayah, apalagi ayahnya yang
sangat menentang keras. Akibatnya, Nurhidayah mendapat perlakuan kasar dari
sang ayah. Pikirannya terguncang, kendati begitu dia bulat tetap yakin
dengan agama Islam.
"Iya aku dipukul kepala ku dipukul," ucapnya mengenang.
Nurhidayah mengaku sempat dipaksa untuk kembali ke keyakinan awal tapi
dia menolak. Ayahnya berpikir Nurhidayah mualaf karena terpengaruh
tetangga dan gurunya. Nurhidayah kemudian dipindahkan ke sekolah di
Pematang Siantar, daerah rumah neneknya.
"Di sana saya dipaksa ke gereja. Padahal dulu nggak pernah juga disuruh
ke gereja. Saya ikuti tapi tetap hati saya Islam," kata gadis berusia 25
tahun ini.
_________________
----------------------------
Sahur cuma makan mie instan dan air putih
Dia tidak nyaman dengan sekolahnya yang baru. Hatinya resah, kalut. Hal
itu juga mempengaruhi terhadap nilai di sekolah. Nurhidayah yang
notabenenya siswi berprestasi menjadi jeblok karena tekanan dari
keluarganya.
Apalagi ketika awal menjalankan ibadah puasa. Dia tetap
sembunyi-sembunyi berpuasa. Sahur pun hanya mi instan dan air putih. Dua
hari berpuasa dia sempat menyerah.
Itu karena tidak ada makanan yang bisa dia konsumsi saat sahur.
Menurutnya, keluarganya masih terus menawarkan untuk makan makanan tidak
halal. Tentunya Nurhidayah menolak. Bahkan peralatan makan dan minum dia
cuci dengan tanah sebanyak tujuh kali agar tidak najis.
"Padahal opung pas udah mulai cair bilang asal jangan jadi Islam yang
fanatik. Makan minum enggak mau bergabung," kata Nurhidayah.
Diusir keluarga, mondok di ponpes mualaf
Semakin lama hidup tertekan membuatnya tidak nyaman. Dia ingin
memperdalam agama dan terus meningkatkan iman. Nurhidayah terus membaca
buku-buku Islam untuk menambah pengetahuannya. Kemudian dia mendapat
informasi dari internet bahwa ada pondok pesantren yang khusus menampung
para mualaf yakni An Nabba Center pimpinan Ustaz Syamsul Arifin
Nababan.
Bekal uang tabungan Nurhidayah berangkat ke Jakarta. Dia pun tidak pamit kepada orangtuanya karena sudah diusir dan tak
lagi dianggap anak. Tapi dalam hati dia berjanji suatu saat akan tetap
pulang ke rumahnya, baik diterima atau pun tidak. Dia tak ingin
memutuskan tali silaturahmi karena islam mengajarkan harus tetap menjaga
silaturahmi.
"Saya akan membuktikan kepada bapak kalau Islam memerintahkan untuk
tetap menjaga silaturahmi," ujarnya.
Selama dua tahun di pondok dia pun jauh merasakan kedamaian dan kasih
sayang sesama mualaf. Ilmu agama dan keimanannya pun semakin bertambah.
Kendati masih ada satu hal yang masih membebani pikirannya, yakni soal
mencium hajar aswad.
"Saya masih bertanya-tanya kenapa hajar aswad itu harus dicium, saya
bertanya ke setiap orang dan ustadz saya tapi jawabannya masih belum
masuk di akal saya. Mungkin saya harus menyaksikan langsung makanya saya
ingin sekali pergi umrah biar bisa merasakan langsung," kata
dia. [ded]
Sumber:
https://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-perjuangan-primasari-bermualaf-hingga-diusir-keluarga.html
No comments:
Post a Comment